Prodi. : Perbankan Syariah
Dosen : Khairunnisa, MM
Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan
dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :
1. Haram
Zatnya (objek transaksinya)
Suatu transaksi dilarang karena objek (barang
dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam
hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia,
dll.
2. Haram
Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)
Jenis ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
a) Tadlis,
yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha
untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party)
dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi
objek yang diperjualbelikan. Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas
(quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time
of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh : apabila kita
menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita
menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka
transaksi yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
b) Ikhtikar.
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di
atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga
produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat
entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain
masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian
mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan),
sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah
naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil
keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh
pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm
oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar dapat menjual bbm dengan
tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang lebih
besar.
c) Bai’
Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand
(permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk
sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa ditempuh
bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan
sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi
ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi
ketika pelelangan suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja
sama dengan beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk
berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata
lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
d) Riba
adalah tambahan yang disyaratkan dalam tarnsaksi bisnis tanpa adanya pengganti
(iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Imam Sarakhzi).Al-Quran
dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai
bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman; “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah
(2): 275]
a) Riba Nasii`ah.
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena
penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja
apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau
sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta
kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada
tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu
yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas
keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini
bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi
hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu
baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
b) Riba Fadlal.
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan
pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Muslim.
“Emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya
berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari
Ubadah bin Shamit ra).
c) Riba al-Yadd.
Riba al-Yadd yang disebabkan karena penundaan
pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak
yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad
sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan
hadits-hadits berikut ini;
“Emas dengan
emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali
dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR
al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
d) Riba Qardl.
Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang
dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman.
e) Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut
istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat
memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam
kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam,
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya’…” (QS. Al Baqarah :
219)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,
maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan, maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)
f) Talaqqil
jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang
diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan
menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban
adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari
orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih
rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para pedagang luar itu
dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur
(mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no.
1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar,
lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan
mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no. 2166).
g) Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk
orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota
yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota.
Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri.
Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan
harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar
(talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang
desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan
larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”.
(HR. Bukhari nol. 2158).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para
ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
Barang yang ia tawarkan
untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang banyak, baik
berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang dibutuhkan,
maka tidak termasuk dalam larangan.
Jual beli yang dimaksud
adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur,
maka tidaklah masalah.
Orang desa
tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu,
maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
h) Risywah
(Suap)
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang
diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya
dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai
dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau
“pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan
tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti:
“pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan
memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling
terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima
suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan
para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah
Nabawiyah berikut ini:
a. Firman Allah ta’ala:
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
b. Firman Allah ta’ala:
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar
berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair
menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap)
identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
c. Rasulullah SAW bersabda:
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”
(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas
tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga
menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar