Nama : Akbar
Prodi :Perbankan Syariah
Dosen :
Totok Harmoyo M.Si
Universitas Muhammdiyah Sumatra Utara
Kerentanan Risiko Kredit Bank
Syariah Terhadap Variabel Makroekonomi
1. Perkenalan
Krisis
sistemik yang mengguncang sektor keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997
telah memberikan bukti adanya hubungan yang kuat antara stabilitas makroekonomi
dan perbankan. Tingkat kerusakan di pasar keuangan di Indonesia pada akhir tahun
1990an telah menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi sangat mengarah
pada krisis perbankan. Krisis yang dimulai dengan depresi mendalam di mata uang
Thailand Baht pada bulan Juni 1997 kemudian berkembang ke Indonesia yang secara
signifikan meningkatkan inflasi ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya
sebesar 77,6 persen di tahun berikutnya (Bank Indonesia, 1999). Akibatnya,
sebagian besar bank yang dinilai bangkrut karena gejolak makroekonomi yang
merugikan.
Salah
satu indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur tingkat stabilitas
perbankan adalah kredit bermasalah (non-performing loan / NPL) untuk bank
konvensional atau non performing financings (NPF) bagi bank syariah. Rasio NPL
atau NPF mengukur stabilitas bank berdasarkan kualitas aset produktif yang
dimiliki oleh bank. Rasio tingkat tinggi ini bisa diterjemahkan menjadi potensi
ketidakstabilan perbankan. Memang, argumen yang maju di sini mirip dengan
Bracons, et al. (2006) yang menunjukkan bahwa probabilitas default kredit adalah
elemen kunci yang perlu dipertimbangkan saat menganalisis kerentanan finansial
dan pengawasan makro-prudensial.
.2. Tinjauan
literatur
2.1. Stabilitas Perbankan
Sinkronisasi
antara stabilitas moneter dan keuangan sangat penting bagi perekonomian. Melalui
berbagai jalur transmisi moneter, stabilitas sistem keuangan mempengaruhi
efektivitas kebijakan moneter dalam memastikan aktivitas ekonomi yang sehat dan
menjaga inflasi tetap minimal. Hal ini mungkin menjelaskan semakin meningkatnya
fokus pada kebijakan kehati-hatian makro (Bank Indonesia, 2011). Tata kelola
kehati-hatian didasarkan pada tiga prinsip utama berikut ini: (1) pengendalian
likuiditas dalam perekonomian, terutama likuiditas perbankan; (2) mengawasi
arus modal asing, dan (3) meningkatkan intermediasi perbankan.
Risiko kredit bank diukur dengan rasio NonPerforming
Loans (NPL) untuk istilah konvensional dan Non Performing Financings (NPF)
untuk istilah Islam. Dengan menggunakan pengawasan makro-prudensial, penilaian
terhadap keseluruhan kualitas aset dan risiko kredit di sektor perbankan
menjadi elemen penting dalam mengidentifikasi kerentanan di sektor keuangan
(Clair, 2004; Bracons, et al., 2006).
Berbeda dengan sistem konvensional, tingkat keuntungan
digunakan sebagai instrumen perantara untuk sistem perbankan syariah. Hal ini
sejalan dengan larangan suku bunga berdasarkan prinsip syariah. Akibatnya,
fluktuasi NPF di bank syariah dapat mengirim sinyal lebih cepat mengenai
potensi krisis keuangan dibandingkan bank konvensional (Adebola, et.al., 2011).
2.2. Tinjauan Studi Sebelumnya
Beberapa
penelitian telah mencoba untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi
probabilitas bank terhadap kegagalan bank. Salah satu dari penelitian ini
adalah Babouček dan Jančar (2005) yang secara empiris menyelidiki transmisi
variabel makroekonomi sebagai sinyal peringatan dini kualitas pinjaman bank di
Ceko. Model VAR yang tidak dibatasi digunakan untuk menyelidiki hubungan antara
variabel makroekonomi dan rasio NPLGunsel (2008) meneliti kerapuhan bank baik
dari sisi makro maupun faktor mikroekonomi. Khemraj dan Pasha (2009) meneliti
hubungan antara NPL dan makroekonomi dengan variabel khusus bank untuk kasus
Guyana dengan menggunakan kumpulan data panel.
Dalam sistem perbankan syariah, ada dua studi empiris
penting yang menganalisis determinan NPF. Menerapkan kasus Indonesia, Imaddudin
(2007) membandingkan kinerja sistem syariah dan konvensional dalam kaitannya
dengan pengelolaan default kredit. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat
terkecil biasa dengan menggunakan 40 data pengamatan bulanan dari bulan Januari
2003 sampai April 2006. Dalam penelitian ini, ada enam variabel dependen yaitu:
total aset, jumlah total dana pihak ketiga, jumlah pinjaman, proxy pasar uang
antar bank syariah, Pertumbuhan PDB, dan indeks industri manufaktur. Temuan
mereka menunjukkan bahwa, perbankan konvensional memiliki kinerja yang lebih
baik dibandingkan perbankan syariah.
Studi estimasi ini jelas-jelas memerlukan dimasukkannya
variabel makroekonomi dan keuangan mengingat hubungan teoritis dan empirisnya
dengan risiko kredit. Beberapa variabel makroekonomi yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, rasio M2, nilai
tukar riil dan syarat perdagangan (Demirguc-Kunt dan Detrigiache, 1998;
Babouček dan Jančar, 2005; Gunsel, 2008; Khemraj dan Pasha, 2009 ). Secara
khusus, Clair (2004) dan Adebola, dkk. (2011) berpendapat bahwa suku bunga
adalah variabel yang sangat penting, karena suku bunga merupakan biaya pinjaman
langsung.
3.
Data dan Metodologi
Seri waktu berupa data bulanan yang mencakup periode
Oktober 2005 sampai Mei 2012 digunakan. Semua data riil diambil dan diubah
menjadi logaritma natural kecuali untuk tingkat NPF dan Islamic Interbank Money
Market (PUAS). Fluktuasi volatilitas dari variabel-variabel dalam periode
tertentu akan mencerminkan volatilitas relatif terhadap volatilitas pada
periode lain (Muthohharoh, 2010).
Meskipun periode sampel mencakup krisis keuangan tahun
2008, studi ini menunjukkan bahwa, bank syariah tidak terpengaruh oleh krisis
keuangan global. Temuan ini serupa dengan kinerja Bank Indonesia (2009)
mengenai kinerja ekonomi di Indonesia. Selama masa krisis, kinerja indikator
yang relevan terus membaik dan mendukung pembiayaan sektor riil, seperti yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan aset yang tinggi, akumulasi dana dan pembiayaan.
Dengan perkiraan pertumbuhan sekitar 4,5 persen di tahun 2009, Indonesia adalah
satu dari sedikit negara yang secara berkelanjutan mempertahankan pertumbuhan
positif.
3.1.
NPF sebagai Variabel Endogen
Risiko kredit (default) tetap menjadi sumber utama risiko
dalam sistem keuangan kontemporer kita. Probabilitas default bank meningkat
bila risiko kredit menunjukkan tingkat risiko yang lebih tinggi (Imbierowicz
dan Rauch, 2012). NPL atau NPF telah banyak digunakan sebagai indikator
kualitas kredit di bank konvensional dan syariah. Hal ini menjelaskan jamur
penelitian empiris yang bertujuan untuk menganalisis probabilitas risiko
default (Demirguc-Kunt dan Detrigiache, 1998; Babouček dan Jančar, 2005;
Imaddudin, 2007; Gunsel, 2008; Khemraj dan Pasha, 2009). Model ekonometrik yang
menghubungkan NPL dengan indikator makroekonomi dapat relevan dengan pembuat
kebijakan. NPL adalah elemen penting dalam pengawasan makroprudensial
berdasarkan perannya dalam mengidentifikasi kerentanan utama sektor keuangan
dan memulihkan kepercayaan pada sektor keuangan (Beck, Jakubik, dan Piloiu,
2013). Selanjutnya, mayoritas kegagalan bank dan krisis keuangan di semua
negara adalah salah satu cara atau yang lain terkait dengan kinerja rasio NPF
(Khemraj dan Pasha, 2009).
3.2. Variabel Penjelasan
Variabel penjelas menangkap banyak teori yang disarankan
yang menggunakan rasio kredit bermasalah (Demirguc-Kunt dan Detrigiache, 1998).
Ini tidak hanya melibatkan variabel makroekonomi tetapi juga kondisi eksternal
ekonomi pada umumnya dan faktor keuangan pada khususnya. Untuk mulai, beberapa
variabel makroekonomi dapat diintegrasikan untuk membangun model mengenai
kinerja bank, yaitu tingkat pertumbuhan PDB (Khemraj dan Pasha, 2009), nilai
tukar riil (Babouček dan Jančar, 2005; Gunsel, 2008), dan tingkat inflasi
(Gunsel, 2008). Kedua, rasio cadangan devisa M2 terhadap devisa (Demirguc-Kunt
dan Detrigiache, 1998; Gunsel, 2008) dan tingkat suku bunga interbank interbank
Islam (Immaddudin, 2007) akan mewakili karakteristik keuangan.
3.2.1 Tingkat Pertumbuhan
Mankiw (2003) menyatakan bahwa salah satu variabel
makroekonomi untuk mengukur kinerja ekonomi adalah Produk Domestik Bruto (PDB)
dan dibagi menjadi PDB nominal dan PDB riil. GDP mengukur total barang dan jasa
akhir yang mewakili pertumbuhan ekonomi suatu negara. Indikator ekonomi lain
yang mengukur produksi riil adalah Indeks Produksi Industri (IPI). Menurut
Linda (2007), IPI lebih meluas dibandingkan PDB dalam menjelaskan pertumbuhan
ekonomi secara bulanan. Indeks produksi industri didasarkan pada konsep nilai
tambah. Ini mencakup keluaran fisik dari semua tahap produksi di industri
manufaktur, pertambangan, gas, dan utilitas listrik (McGuckin, 2000). Indeks
ini secara historis mewakili sebagian besar fluktuasi total output, walaupun
nilai tambah sektor industri hanyalah bagian dari total ekonomi.
3.2.2 Nilai Kurs
Riil
Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata
uang lokal terhadap mata uang lainnya (Bank Indonesia, 2004). Nilai tukar
merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam perekonomian terbuka
(Kassim et.al., 2009). Nilai tukar sama terbagi menjadi dua jenis yaitu: yaitu
kurs nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar riil sangat relevan untuk mengukur
daya saing ekonomi (Moosa, 2003). Nilai tukar yang stabil meningkatkan
profitabilitas pemangku kepentingan dalam kaitannya dengan transaksi ekspor
atau impor. Menurut Mankiw (2003), tingginya pertukaran riil (depresiasi)
mempengaruhi barang asing menjadi relatif lebih mahal sementara menyebabkan
barang dalam negeri menjadi relatif lebih murah.
3.2.3 Tingkat Inflasi
Muthohharoh
(2010) mengidentifikasi dua sumber utama inflasi yaitu, sisi permintaan dan
sisi penawaran. Jika bank sentral menerapkan kebijakan moneter ekspansif,
perusahaan dan rumah tangga mungkin mengalami kerugian karena inflasi
permintaan. Berdasarkan fakta bahwa, inflasi akibat perubahan jumlah uang
beredar tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan dan rumah tangga, kemampuan
untuk memenuhi kewajiban kreditnya menurun sehingga mengakibatkan kenaikan NPL
dan NPF. Sebaliknya, jika terjadi inflasi dari sisi penawaran, maka akan
menurunkan tingkat NPL dan NPF. Oleh karena itu, perusahaan memiliki insentif
lebih tinggi untuk melunasi pembiayaan bank karena memungkinkan lingkungan yang
membantu meningkatkan pendapatan mereka melalui kenaikan harga barang. Memang,
biaya yang timbul dari sisi penawaran merupakan sumber inflasi yang signifikan
di Indonesia. Dengan demikian, diasumsikan bahwa kenaikan inflasi dapat
menyebabkan penurunan rasio NPF.
3.2.4 Kuasi Uang
Perubahan jumlah uang beredar dapat dikaitkan dengan
perubahan tingkat suku bunga, tingkat harga, dan pada akhirnya mempengaruhi
aktivitas ekonomi, yang kemudian mempengaruhi kualitas pinjaman bank. Beberapa
studi empiris sebelumnya menyatakan bahwa, ada hubungan positif antara jumlah
uang beredar dan kemungkinan kegagalan bank yang diukur dengan kredit macet
(Babouček dan Jančar, 2005; Gunsel, 2008). Kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan
kenaikan inflasi. Untuk mengendalikan inflasi, otoritas moneter mencoba
menyerap uang beredar dengan menaikkan suku bunga yang pada akhirnya
menyebabkan debitur akhirnya gagal memenuhi kewajiban kredit mereka ke bank
(Muthohharoh, 2010).
3.2.5 Tarif Uang Panggil Interbank Islam
Permintaan dan penawaran kredit jangka pendek umumnya
terjadi karena dua alasan utama (Rosly, 2005). Pertama, pasar uang dirancang
untuk memenuhi pinjaman jangka pendek perusahaan, keuangan, institusi dan
pemerintah. Kedua, pasar uang berfungsi untuk memenuhi investasi jangka pendek.
Hal ini diterapkan atas dasar prinsip syariah yang diturunkan dari Alquran,
Sunnah dan pendapat hukum ahli hukum Islam melalui ijma (konsensus), qiyas
(analogi) dan ijtihad (pemikiran independen). Larangan riba, persyaratan 'iwad
(pengambilan risiko dan penambahan nilai), dan penghindaran gharar
(ketidakpastian) adalah tiga prinsip utama untuk melakukan dasar operasi pasar
uang Islam.
Salah satu instrumen yang paling penting dalam operasi
moneter dan transaksi pasar uang di Indonesia adalah Islamic Interbank Money
Market (PUAS). Seperti yang dikemukakan oleh bank Indonesia (2013), Islamic
Interbank Money Market (PUAS) merupakan transaksi keuangan jangka pendek antar
bank yang melakukan kegiatan usaha baik berdasarkan nilai tukar rupiah maupun
valuta asing sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Instrumen Pasar Uang Antar
Bank (PUAS) Islam didasarkan pada Sertifikat Investasi Antar Bank Mudaraba
Investment (IMA). Imaduddin (2007) menunjukkan bahwa, pasar uang antar bank
syariah tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio NPF perbankan syariah.
3.3. Kerangka Analisis
Stabilitas moneter, kondisi makro ekonomi, dan stabilitas
perbankan adalah tiga sektor utama yang saling terkait. Ada dua pendekatan
utama untuk menerjemahkan guncangan makroekonomi di variabel sektor keuangan
(Cihák, 2007). Pertama, pendekatan bottom-up, dimana dampaknya diperkirakan
menggunakan data portofolio individual. Kedua, pendekatan top-down, dimana
dampaknya diperkirakan menggunakan data agregat. Karena terhambat oleh
kerumitan data dan perhitungan yang tidak mencukupi, penelitian ini akan
menggunakan pendekatan top-down dengan menggabungkan uji stres makroprudensial.
Keuntungan dari pendekatan ini adalah, ia mampu menyediakan pemodelan yang
lebih rinci dan menggunakan kumpulan data yang lebih luas. Diasumsikan bahwa
kualitas pembiayaan sensitif terhadap siklus ekonomi.
3.4. Metode Estimasi
Analisis deret waktu bertujuan untuk menjelaskan pola
atau data perilaku selama periode pengamatan dan peramalan. Penelitian ini
menggunakan analisis time series multivariat yang didasarkan pada Vector Auto
Regression (VAR). Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu uji unit
root, uji stabilitas VAR, lag optimal, uji kointegrasi, model jangka panjang
berdasarkan kerangka koreksi kesalahan vektor, dan akuntansi inovasi yang
terdiri dari analisis Fungsi Respon Impulse ( IRF) dan Variance Decomposition
(VD).
3.4.1 Uji Akar Unit
Dalam analisis deret waktu, stasioner variabel sangat
penting untuk menghindari regresi palsu pada model. Data stasioner bila ada
pola konstan dari waktu ke waktu atau kecenderungan berfluktuasi sekitar nilai
rata-rata (Gujarati, 2009). Meski ada beberapa tes stasioner diantaranya uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Tes ini dilakukan dengan "menambah"
bentuk random walk dengan drift dengan menambahkan nilai lag dari variabel
dependen ΔYt (Gujarati, 2009).
3.4.2 Penentuan Lag Optimal
Ada dua langkah umum yang harus diikuti sebelum
menentukan lag yang tepat dalam model VAR.
Pertama, temukan jeda maksimum pada stabilitas VAR yang
didasarkan pada akar polinomial karakteristik. VAR memenuhi kondisi stabilitas
jika nilai akar AR-nya kurang dari satu dan tidak ada akar yang berada di luar
lingkaran unit (Gujarati, 2003). Jika ada VAR yang tidak stabil, hasil fungsi
respon impuls dan variance decomposition tidak akan valid (Ascarya, 2009).
Kedua, panjang lag optimal akan dipilih dengan
menggunakan informasi kriteria yang tersedia. Penentuan lag optimal dapat
diidentifikasi dengan menggunakan salah satu dari dua kriteria, yaitu
Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Kriteria Informasi Akaike
(AIC), Kriteria Kriteria Schwarz (SIC) dan Hannan-Quin Criterion (HQ) . Dimana
| Σ | adalah determinan matriks kovariansi atau varian residu, dan N adalah
total parameter yang diperkirakan, perhitungan AIC dan SC dapat dituliskan pada
persamaan berikut (Enders, 1995):
AIC = T log | Σ | + 2 N (2)
SC = T log | Σ |
+ N log (T) (3)
3.4.3 Uji Koordinasi
Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara
variabel yang secara non-stasioner, namun ada kemungkinan kombinasi linier
antara variabel-variabel ini dapat membatalkan tren stokastik dalam dua seri
sehingga menjadi stasioner (Gujarati, 2009). Sejumlah metode untuk menguji
kointegrasi telah diusulkan dalam literatur.
3.4.4 Analisis Vektor Autoregresi
Pendekatan struktural biasanya menggunakan teori ekonomi
sambil mencoba menggambarkan hubungan antar variabel yang akan diuji. Dalam
beberapa kasus, tidak cukup untuk menyediakan hubungan dinamis spesifik di
antara variabel-variabel ini. Model VAR mencakup pemilihan variabel dan banyak
lag pada model. Metode VAR memiliki beberapa kelebihan sesuai dengan Gujarati
(2009), yaitu:
1. Metode VAR dan estimasinya sederhana karena tidak
perlu membedakan variabel eksogen dan endogen.
2. Dalam banyak kasus, prakiraan dalam metode ini lebih
baik daripada metode persamaan simultan yang lebih kompleks.
4.
Temuan dan Diskusi
4.1. Uji Akar Unit
Pengujian unit akar dalam penelitian ini didasarkan pada
uji ADF (Augmented Dickey Fuller) dan uji PhillipPerron. Tabel 2 menunjukkan
hasil uji stasioner model NPF. Semua variabel tidak stasioner pada level; maka
uji akar unit harus dilakukan pada tingkat perbedaan pertama. Ditemukan bahwa
semua variabel menjadi stasioner pada tingkat integrasi satu.
4.2. Pemilihan Lag Optimal
Panjang
lag yang optimal perlu diterapkan untuk mengatasi masalah autokorelasi
(Ascarya, 2009). Selain itu, penentuan jeda optimal sangat penting karena lag variabel
endogen akan digunakan sebagai variabel eksogen dalam sistem (Enders, 1995).
Pemilihan lag optimal dalam penelitian ini didasarkan pada lag terpendek dari
Kriteria Informasi Akaike (AIC), Kriteria Informasi Schwarz (SIC) dan
Hannan-Quin Criterion (HQ). Tabel 3 menunjukkan hasil uji seleksi lag optimal
untuk model NPF. Berdasarkan AIC, urutan lag yang dipilih berdasarkan kriteria
model NPF adalah 2. Namun berdasarkan SC dan HQ, urutan lag yang dipilih oleh
kriteria untuk model NPF adalah 1. Jadi, urutan lag yang dipilih dalam
penelitian ini adalah 1.
5.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji variabel
makroekonomi utama yang mempengaruhi kinerja kredit sektor perbankan syariah
dengan fokus khusus pada kasus Indonesia yang mencakup periode Oktober 2005
sampai Mei 2012. Dalam penelitian ini, indikator kinerja diwakili oleh NPF.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, nilai tukar, sisi penawaran
inflasi dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dengan tingkat NPF.
Artinya, bila mata uang lokal lebih kuat dibandingkan dengan dolar AS, sisi
penawaran-inflasi dan kenaikan pertumbuhan ekonomi, tingkat NPF menurun, dan
risiko kredit mudah dikelola. Di sisi lain, pengaruh positif diberikan oleh
tingkat pasar uang antar bank syariah dan jumlah uang beredar pada tingkat NPF
yang menunjukkan bahwa kenaikan variabel tersebut akan meningkatkan tingkat
NPF, dan pada akhirnya menciptakan risiko kredit bagi bank syariah. Beberapa
keterbatasan telah diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: (i) penelitian
ini tidak memasukkan indikator khusus bank yang juga diyakini memiliki dampak
signifikan terhadap tingkat NPF; (ii) periode yang dianalisis hanya tujuh
tahun. Dengan demikian, saran berikut untuk penelitian selanjutnya dapat
diidentifikasi: (i) masa depan bisa indicator
spesifik bank yang sesuai sebagai predicator dan (ii) studi masa depan juga
dapat menggunakan periode yang lebih lama sehingga menghasilkan hasil yang
lebih kuat.
http://journals.iium.edu.my/iiibf-journal/index.php/jif/article/download/24/17
https://drive.google.com/open?id=0B_IRpLjqTLAsRjRlRXpLN1N6TlU