Minggu, 15 Oktober 2017

Perekonomian Tertutup Tanpa Kebijakan Pemerintah



 

Nama           : Akbar
Prodi            :Perbankan Syariah
Dosen          : Totok Harmoyo M.Si 
Universitas Muhammdiyah Sumatra Utara



PEREKONOMIAN TERTUTUP TANPA
KEBIJAKAN PEMERINTAH

3.1   Pengertian dan Ruang Lingkup Perekonomian Tertutup Tanpa Kebijakan Pemerintah dalam Perspektif Ekonomi Konvensional
Dalam membahas perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran, perekonomian suatu negara dapat digolongkan atas:
Perekonomian tertutup (closed economy) yang meliputi atas perekonomian sederhana      (perekonomian dua sektor) dan perekonomian tiga sektor dan perekonomian terbuka (opened economy).
Perekonomian dua sektor adalah perekonomian yang terdiri dari pengeluaran yang dilakukan rumah tangga konsumen yang biasanya disebut dengan consumption (C) dan pengeluaran yang dilakukan rumah tangga produsen (firm) yang biasanya disebut investment (I). Kesimpulan dua sektor dapat dituliskan dengan notasi sebagai berikut: Y= C + I        (3.1)
Persamaan ini  mencerminkan kondisi antara output yang diproduksi (Y) sama dengan output yang dijual (C + I). Penggunaan tanda = (identitas) dan bukan = (persamaan). Karena identitas adalah pernyataan yang selalu benar karena secara langsung dimasukkan oleh definisi dari variabel atau hubungan perhitungan.
Jika sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi dan sebagian pendapat digunakan untuk menabung (saving atau diberi notasi S), maka dapat dituliskan: Y = C + S       (3.2)
Sehingga identitas dapat digabung menjadi: C + I = C + S         (3.3)
Identitas tersebut mencerminkan komponen penerimaan (C+S) sama dengan komponen pengeluaran (C + I). Rumus hubungan antara tabungan dan investasi dengan mengurangkan konsumsi dari segi sisi dari persamaan (3.3) yaitu sebagai berikut: I = Y - C = S  
.3.2      Fungsi Konsumsi dan Tabungan dengan Pendekatan Ekonomi Konvensional
Dalam perhitungan pendapatan nasional, pendapatan yang di hasilkan rumah tangga konsumen (household) merupakan sisi pendapatan sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga (house hold) merupakan sisi pengeluaran.
Menurut keynes, konsumsi merupakan fungsi pendapatan (C = f(Y)) yang dalam bentuk persamaan dapat di tulis sebagai berikut: C = a+ bY   (3.5) 
Jika dikaitkan dengan keseimbangan perekonomian dengan hanya memperhatikan sektor konsumsi yang dilakukan rumah tangga konsumen (hausehold ), maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = C (3.6)
Dan C sesuai dengan persamaan (3.5), maka diperoleh keseimbangan perekonomian:
Y = a + bY     (3.7)
Jika diselesaikan persamaan tersebut, maka diperoleh persamaan: Y = (1/1-b) a   (3.8)
Pandangan yang mengomentari fungsi konsumsi yang dikemukakan keynes antara lain sebagai berikut:
1.      Franco Modigliani dengan hipotesis daur hidup (life cycle hyphotecis). Fungsi konsumsi yang ditawarkannya sebagia berikut: C = (W + RY)/T          (3.9)
Persamaan konsumsi (3.9) dapat ditulis sebagai berikut: C = (1/T) W + (R/T) Y       (3.10)
Misalnya, seseorang mengharapkan hidup selama 60 tahun dan bekerja selama 30 tahun, maka T = 60 dan R = 30 maka fungsi konsumsinya: C = 0,017W + 0,5Y
Pernyataan ini menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan dan kekayaan. Pendapatan ekstra sebesar Rp 1 per tahun akan meningkatkan konsumsi sebesar Rp 0,5 per tahun dan kekayaan ekstra senilai Rp 1 akan meningkatkan konsumsi sebesar Rp 0,017 per tahun. Dalam terminologi makro ekonomi, maka persamaan konsumsi dari Modigliani dapat ditulis sebagai berikut: C = αW + βY              (3.11)
3.2  Fungsi Konsumsi dan Tabungan dengan Pendekatan Ekonomi Islam
Pembahasan fungsi konsumsi dalam pendekatan ekonomi islam banyak dilakukan para ahli ekonomi islam. Beberpa pandangan yang terkait dengan fungsi konsumsi.
3.3.1 Pandangan Fahim Khan tentang Fungsi Konsumsi dan Tabungan
Fahim khan (1995) membagi tingkat pendapatan menjadi :(1)  Pendapatan yang berada di atas nisab (angka minimal asset terkena kewajiban zakat) yang dinotasikan dengan Yᵤ, (upper classes/golongan kaya) dan (2) Pendapatan yang berada di bawah nisab yang dinotasikan dengan Yʟ, (lower classes/golongan miskin). Komponen pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga konsumen menurut Fahim khan (1995) juga di bagi atas dua bentuk pengeluaran: (1) konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga tersebut untuk kebutuhan sendiri (for self) yang dilambangkan notasi Eₗ, dan (2) konsumsi yang dilakukan rumah tangga untuk jalannya menuju keridhaan Allah (cause of allah) yang dinotasikan dengan E₂.
Berdasarkan rumusan di atas, maka Fahim khan menawarkan fungsi konsumsi sebagai berikut:
C* = Aₒ + Aᵤ + Yᵤ                  (3.14)
Persamaan (3.14) ini hampir sama dengan persamaan untuk fungsi konsumsi yang dikemukakan Keynes pada persamaan (3.5), yang membedakan pada esensi atau makna yang terkandung pada persamaan tersebut. Pada persamaan (3.14) pendapatan yang dimaksud baru untuk golongan kaya (upper classes) atau kalaupun boleh disebut pendapatan kelompok muzzakki (orang yang membayar zakat) sehingga intersep ataupun slope/marginal propensity to cunsume ( Aₒ dan Aᵤ) juga untuk golongan kaya (upper glasses). Persamaan konsumsi model keynes dilabangkan oleh C (consumption) dengan intersep aₒ dan slope aₗ sedangkan persamaan konsumsi model Khan dilambangkan oleh C* dengan intersep aₒ + E₂ atau (Aₒ) dan slope Aᵤ.
            Terkait dengan besaran nilai intersep (autonomous consumption), dengan pendekatan yang dilakukan khan maka akan mengalami peningkatan sebesar E₂ karena ada pengeluaran yang di tunjukkan untuk cause of Allah besaran autonomous consumption (intersep) dalam model Keynes (aₒ) nilainya akan berbeda dengan model Fahim Khan (Aₒ= aₒ+E₂).
kombinasikan model konsumsi Keynes dengan modal Khan diperoleh persamaan sebagai berikut: C*=(ao+E2)+a1 (Yu-E2)      (3.15)
3.3.2 Pandangan Metwally tentang Fungsi Konsumsi  dan Tabungan
  Hipotesis Pendapadatan Mutlak
  Hipotesis ini menyatakan bahwa konsumsi dalam periode waktu tergantung pada pendapatan siap konsumsi (disposable income) pada periode tersebut. Metwally memasukkan peranan zakat terhadap fungsi konsumsi, untuk menyederhanakan masalah dianggap besarnya zakat ditunjukkan oleh fungsi:         Z=αY              (3.16)
Dimana: 0< α <1
Selain itu, dimisalkan bY merupakan pendapatan pembayar zakat dan  (1-β)Y adalah pendapatan penerima zakat, dimana: 0<β<1
Dimisalkan pula δ sebagai hasrat konsumsi marginal penerima zakat, dimana: 0<b<δ<1
Berdasarkan hal itu maka fungsi dalam ekonomi islam menjadi:
C=a+b (βY – αY) + δ [(1 – β)Y + αY]          (3.17)
·         a + b (βY – αY)          = fungsi konsumsi untuk pembayaran zakat
·         δ [(1 – β)Y]                = fungsi konsumsi untuk penerima zakat
Berdasarkan persamaan (3.17), maka dapat dihitung besaran APC dan MPC dalam pendekatan ekonomi Islam masing-masing sebagai berikut:
APC = C/Y = a/Y + bβ – αb + δ (1 – β) + αδ           (3.18)
MPC = bβ – αb + δ (1 – β) + αδ                                (3.19)
Berdasarkan pada persamaan (3.18) dan (3.19) sekali lagi dapat kita nyatakan bersama APC maupun MPC dengan pendekatan ekonomi konvensional (APC =a/Y + b dan MPC = b) berbeda dengan pendekatan ekonomi Islam.
Hipotesis Pendapatan Relatif (The Relative Income Hyphothesis)
            Hipotesis pendapatan relatif menyatakan konsumsi sekarang saja ditentukan pendapatan siap konsumsi pada masa sekarang (Ys) tetapi juga pendapatan sebelumnya (pendapatan masa puncak atau Yp). Sehingga menurut hipotesis ini konsumsi rata-rata (APC) dan hasrat konsumsi marginal (MPC) konstan. Jika pendapatan sekarang lebih kecil dari pendapatan puncak, makaMPC<APC.
Dengan menggunakan hipotesis ini, maka fungsi konsumsi menjadi: C= (c+b)Yp+bYs       (3.20)
Jika kita mengacu pada model konsumsi yang terdapat pada persamaan (3.17) dan persamaan (3.2), maka: C = a + b (βY – αY) + δ [(1 – β)Y + α Y]          Y = C + S
Maka diperoleh persamaan untuk saving dalam pendekatan ekonomi islam sebagai berikut:
S = Y – a – b (βY – αY) – δ [(1 – β)Y + αY]            (3.21)
S = Y – a – βY + bαY – δY + δβY – δαY                (3.22)
Atau
S = -a + (1 – β + α – δ + δα) Y                                   (3.23)
Dengan mengacu kepada persamaan (3.22), maka diperoleh persamaan untuk Average Propensity to Save (APS) dan Marginal Propensity to Save (MPS) sebagai berikut:
APS = S/Y = 1 – a/Y – β + bα – δ + δβ – δα              (3.24)
MPS = ▲S/▲Y = 1 – β bα – δ (1 – β) – δα               (3.25)
Contoh perhitungan MPC:
MPC   = ▲C/▲Y = C1 - Cₒ/Y1 - Yₒ
            = Rp 4.500 – Rp 4.000/Rp6.000 – Rp5.000
            = Rp 500/Rp 1.000 = 0,5
3.3.3 Pandangan Munawar Iqbal tentang Konsumsi
         Iqbal dengan catatannya ‘Zakat, Moderation, and Aggregate Consumption in an Islamic Economy’ (1985) mengulas beberapa tulisan dalam wilayah yang tidak menyajikan teori konsumsi Islam. Iqbal membuat beberapa pemurnian yang dapat diterima dalam memperkenalkan biaya pengumpulan zakat pada model ini. Menariknya, Iqbal memulai dengan persamaan yang sama C = ao+cY, ia menyederhakan yang lainnya untuk penggunaannya. Untuk menjaga keseragaman pengungkapan, maka digunakan notasi yang telah ada pada pembahasan sebelumnya. Jadi, meletakkan  pada tempatnya  bagai proporsi dari pendapatan Y untuk para pembayar zakat, dan mengganti –nya dengan z sebagai tingkat zakat, untuk konsumsi pada suatu perekonomian Islam  C1 (=C*)  sebagai berikut:
C* = a0 + c (μY – zY) + ố [(1 – μ)Y + Zy]    (3.26)
Di sini ô, sebagaimana pada Iqbal, adalah marginal propensity to consume dari para penerima zakat. Jadi, tidak seperti Khan, Iqbal mengasumsikan bahwa para penerima zakat mampu untuk menabung pendapatan mereka. hal ini dapat dimengerti karena Iqbal menetapkan ô>c. Selain itu, zakat dapat dibayar tidak pada Y tetapi hanya pada bagian dari μY-nya. Sehingga persamaan berikut harus dibaca sebagai:
C* = aₒ + c (μY – zμY) + ô [(1 – μ)Y]          (3.27)
            Untuk menunjukkan bahwa konsumsi tidak berlebih-lebihan atau penghindaran israf (1-f) - dan transfer zakat akan menarik konsumsi dari orang kaya pada arah yang berlawanan dengan dampak yang tidak pasti - meningkatkan atau menurunkan C*, Iqal mengemukakan persamaan nya sebagai berikut:
c* - s = (d – c ) σ – cf (μ – σ)             (3.28)
            Disini, ‘c*’ dan ‘s’ merupakan keseluruhan MPCs masing-masing dari perekonomian Islam dan sekuler, σ = z (1 - ɛ), dan f adalah bagian yang positif. Iqbal menunjukkan bahwa baik bagian (d-c)         σ dan cf (μ – σ) dalam persamaan adalah positif dengan kisaran yang umum. Pengukuran pertama meningkatkan c* yang disebabkan oleh masuknya zakat dan pengukuran kedua menurut yang disebabkan karena perhatian pada pengeluaran yang tidak berlebih-lebihan. Jadi, apakah c* akan menjadi lebih besar atau lebih kecil dari s akan bergantung pada nilai-nilai relatif dari bentuk ini: (d – c) σ < atau > cf (μ – σ)   (3.29)
            Kesulitan dengan rumus ini adalah proses turunannya tergantung pada kesalahan yang sama sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, yaitu menggunakan zY dari pada zμY. Memerhatikan koreksi tersebut, persamaan (3.28) berkurang menjadi:
(d – c) σ < atau > cf (1 – σ)   (3.30)
            Sebagai proporsi pendapatan untuk orang kaya tidak lagi memainkan peran dalam menentukan besaran atau arah dari selisih (c*-s). Ini memainkan peran dalam menetapkan posisi garis pada permukaan yang datar hanya setelah selisih diketahui. Hal ini jelas dari koreksi persamaan berikut pada Iqbal:
APCₗ - APCₛ = μ [(d – c) σ – cf (1 – σ)         (3.31)
Untuk kejelasan dapat dengan segera menggunakan ‘f’ sebagai suatu bagian positif untuk israf. Memasukkan ‘f’ pada persamaan dan untuk menjelaskannya didapat versi modifikasi persamaan sebelumnya sebagi berikut: c* = cμf (1 – z) + 1 – μ (1 - z)            (3.32)  
            Untuk menyederhanakan, kita menjadikan c* = 1 – Ā (1 – cf), dimana Ā = μ(1 – z) adalah konstan. Jelasnya, jika z pengeluaran di jalan Allah meningkat, Ā akan turun dan c* meningkat. Di sisi lain, (dc*/df)> 0, seperti peningkatan pada moderation atau penurunan pada f akan cendurung untuk menurunkan keselurahan marginal propensity to consume dalam system Islam.
3.4 Fungsi Investasi dengan Pendekatan Ekonomi Konvensional
Invenstasi merupakan pengeluaran perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Ada 3 bentuk pengeluaran invenstasi:
a)      Investasi tetap bisnis (business fixed investment)
b)        Investasi residensial (residential investment)
c)      Investasi persediaan (inventory investment)
Dalam membuat fungsi persamaan untuk investasi dengan pendekatan sederhana dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1.      Dengan mengasumsikan bahwa investasi bersifat autonomous atau tidak dipengaruhi oleh veriabel lain. Sehingga persamaan untuk investasi sebagai berikut: I = Ī                 (3.33)
2.      Selain investasi bersifat autonomous, maka terdapat pula investasi yang dipengaruhi oleh variable suku bunga atau interest (i) sehingga persamaan investasi sebagai berikut:
I = Ī – di                      (3.34)
Persamaan (3.34) memberikan gambaran bahwa teradapat hubungan negatif antara suku bunga dengan investasi, jika tingkat suku bunga naik maka investasi akan turun demikian sebaliknya (vice versa).
Keseimbangan awal terjadi pada kondisi (C+Iₗ) dengan tingkat output sebesar Yₗ, dan tingkat suku bunga (iₗ). Kemudian jika terjadi kenaikan tingkat suku bunga dari iₗ ke i₂ maka berakibat pada naiknya tingkat investasi dari (C+Iₗ) ke (C+I₂) yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat pendapatan dari Yₗ ke Y₂.
            Pengaruh masuknya variable investasi terhadap multiplier adalah Karena asumsi yang digunakan bahwa investasi bersifat autonomous ataupun dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, maka besaran multiplier tidak mengalami perubahan. Dengan mengacu pada persamaan konsumsi (3.5) dan persamaan investasi (3.34), maka proses perhitungan multiplier dapat dijelaskan sebagai berikut:
Y = a + bY + Ī - di                 (3.35)
Y = 1/(1-b) (a + Ī – di)           (3.36)
Berdasarkan persamaan (3.36) maka dapat dinyatakan bahwa multiplier perekonomian masih sebesar [1/(1-b)].
Sebagai ilustrasi sederhana dapat dijelaskan dengan contoh perhitungan berikut ini: misalkan diketahui persamaan konsumsi (C=150+0,7 Y) sedangkan investasi bersifat autonomous (Iₒ = 20). Berdasarkan informasi tersebut berapa besar keseimbangan pendapatan nasional, berapa besar konsumsi? Jika kemudian investasi ditingkatkan menjadi (Iₗ+30) berapa besar kenaikan pendapatan nasional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dilakukan proses perhitungan sebagaiberikut:
Y = 150 + 0,7Y + 20
Y = 170 + 0,7Y
Y = [(1/0,3) x 170]
Y = 566,67
Sedangkan untuk besaran konsumsi dapat dihitung sebagai berikut:
C = 150 + 0,7 (566,67)
C = 546,67
Jika investasi mengalami kenaikan sebesar 10 (▲I=10), maka besarnya kenaikan pendapatan:
▲Y = [(1/0,3) x 10]
▲Y = 33,33
Berarti besarnya nilai pendapatan nasional setelah adanya kenaikan investasi sebesar 10, yaitu 566,67 + 33,33 = 600
3.5 Fungsi Investasi dengan Pendekatan Ekonomi Islam
            Fungsi investasi dangan pendekatan ekonomi islam tentu berbeda dengan fungsi investasi dengan pendekatan ekonomi konvensional. Perbedaannya karena fungsi investasi dalam ekonomi konvesional dipengaruhi tingkat suku bangs, hal ini tentunya tidak berlaku dalam pendekatan ekonomi islam.
            Menurut metwally (1995), investasi dinegara-negara penganut ekonomi islam dipengaruhi oleh 3 faktor (1)   ada sanksi terhadap pemegang asset yang kurang atau tidak produktif (hoarding idle asset); (2)   dilarang melakuakn berbagai bentuk spekulasi dan segala macam judi; dan (3)  tingakat bunga untuk berbagai pinjaman sama dengan nol. Sehingga seorang muslim boleh memilih tiga alternative atas dananya, yaitu: (a)  memegang kekayaan nya dalam bentuk uang kas (idle cash); (b) memegang tabungannya dalam bentuk asset tanpa berproduksi seperti deposito, real estate, permata; atau (c) menginvestasikan tabungannya.
Menurut Metwally, fungsi investasi dalam ekonomiIslam ialah : I = f (r, Zᴀ,Zₙ μ)         (3.37) dan r = f (SI/SF)                (3.38)
Karna nilai Zᴀ dan Zₙ (tingkat zakat) besarnya tetap, maka persamaan (3.37) dapat disederhanakan menjadi: I = f (r, μ)       (3.39)
Dengan persamaan (3.39)dapat kita nyatakan bahwa factor yang mempengaruhi besar kecilnya invetasi (1) tingkat keuntungan yang diharapkan dan (2) pengeluaran lain-lain zakat atas asset yang tidak atau kurang produktif.
Khan dalam sebuah makahlahnya yang berjudul A simple model of income determination, growth and economic development in the perspective of an interest free economy (2004) menyatakan bahwa permintaan investasi (investment demand) ditentukan oleh tingkat keuntungan yang diharapkan tergantung pada:
·         Total profit yang diharapkan dari kegiatan firm (entrepreneurial).
·         Share in profit yang di klaim oleh pemilik dana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar