Nama : Akbar
Prodi :Perbankan Syariah
Dosen :
Totok Harmoyo M.Si
Universitas Muhammdiyah Sumatra Utara
PEREKONOMIAN
TERTUTUP TANPA
KEBIJAKAN
PEMERINTAH
3.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Perekonomian
Tertutup Tanpa Kebijakan Pemerintah dalam Perspektif Ekonomi Konvensional
Dalam membahas
perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran, perekonomian
suatu negara dapat digolongkan atas:
Perekonomian tertutup (closed economy) yang meliputi atas perekonomian sederhana (perekonomian dua sektor) dan perekonomian
tiga sektor dan perekonomian terbuka (opened
economy).
Perekonomian dua sektor
adalah perekonomian yang terdiri dari pengeluaran yang dilakukan rumah tangga
konsumen yang biasanya disebut dengan consumption
(C) dan pengeluaran yang dilakukan rumah tangga produsen (firm) yang biasanya
disebut investment (I). Kesimpulan
dua sektor dapat dituliskan dengan notasi sebagai berikut: Y= C + I (3.1)
Persamaan ini
mencerminkan kondisi antara output yang diproduksi (Y) sama dengan
output yang dijual (C + I). Penggunaan tanda = (identitas) dan bukan =
(persamaan). Karena identitas adalah pernyataan yang selalu benar karena secara
langsung dimasukkan oleh definisi dari variabel atau hubungan perhitungan.
Jika sebagian pendapatan digunakan untuk konsumsi dan
sebagian pendapat digunakan untuk menabung (saving atau diberi notasi S), maka
dapat dituliskan: Y = C + S (3.2)
Sehingga identitas dapat digabung menjadi: C + I = C + S (3.3)
Identitas tersebut mencerminkan komponen penerimaan (C+S)
sama dengan komponen pengeluaran (C + I). Rumus hubungan antara tabungan dan
investasi dengan mengurangkan konsumsi dari segi sisi dari persamaan (3.3)
yaitu sebagai berikut: I = Y - C = S
.3.2 Fungsi Konsumsi dan Tabungan dengan Pendekatan
Ekonomi Konvensional
Dalam perhitungan
pendapatan nasional, pendapatan yang di hasilkan rumah tangga konsumen
(household) merupakan sisi pendapatan sedangkan pengeluaran konsumsi rumah
tangga (house hold) merupakan sisi pengeluaran.
Menurut keynes,
konsumsi merupakan fungsi pendapatan (C = f(Y)) yang dalam bentuk persamaan
dapat di tulis sebagai berikut: C = a+ bY
(3.5)
Jika dikaitkan dengan keseimbangan perekonomian dengan
hanya memperhatikan sektor konsumsi yang dilakukan rumah tangga konsumen
(hausehold ), maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = C (3.6)
Dan C sesuai dengan persamaan (3.5), maka diperoleh
keseimbangan perekonomian:
Y = a + bY
(3.7)
Jika diselesaikan persamaan tersebut, maka diperoleh
persamaan: Y = (1/1-b) a (3.8)
Pandangan yang mengomentari fungsi konsumsi yang
dikemukakan keynes antara lain sebagai berikut:
1.
Franco
Modigliani dengan hipotesis daur hidup (life cycle hyphotecis). Fungsi konsumsi
yang ditawarkannya sebagia berikut: C = (W + RY)/T (3.9)
Persamaan konsumsi (3.9) dapat ditulis sebagai berikut: C
= (1/T) W + (R/T) Y (3.10)
Misalnya, seseorang mengharapkan hidup selama 60 tahun
dan bekerja selama 30 tahun, maka T = 60 dan R = 30 maka fungsi konsumsinya: C
= 0,017W + 0,5Y
Pernyataan ini menyatakan bahwa konsumsi sangat
bergantung pada pendapatan dan kekayaan. Pendapatan ekstra sebesar Rp 1 per tahun
akan meningkatkan konsumsi sebesar Rp 0,5 per tahun dan kekayaan ekstra senilai
Rp 1 akan meningkatkan konsumsi sebesar Rp 0,017 per tahun. Dalam terminologi
makro ekonomi, maka persamaan konsumsi dari Modigliani dapat ditulis sebagai
berikut: C = αW + βY (3.11)
3.2 Fungsi
Konsumsi dan Tabungan dengan Pendekatan Ekonomi Islam
Pembahasan
fungsi konsumsi dalam pendekatan ekonomi islam banyak dilakukan para ahli
ekonomi islam. Beberpa pandangan yang terkait dengan fungsi konsumsi.
3.3.1
Pandangan Fahim Khan tentang Fungsi Konsumsi dan Tabungan
Fahim khan (1995) membagi tingkat pendapatan menjadi :(1)
Pendapatan yang berada di atas nisab
(angka minimal asset terkena kewajiban zakat) yang dinotasikan dengan Yᵤ,
(upper classes/golongan kaya) dan (2) Pendapatan yang berada di bawah nisab
yang dinotasikan dengan Yʟ, (lower classes/golongan miskin). Komponen
pengeluaran konsumsi yang dilakukan rumah tangga konsumen menurut Fahim khan
(1995) juga di bagi atas dua bentuk pengeluaran: (1) konsumsi yang dilakukan
oleh rumah tangga tersebut untuk kebutuhan sendiri (for self) yang dilambangkan
notasi Eₗ, dan (2) konsumsi yang dilakukan rumah tangga untuk jalannya menuju
keridhaan Allah (cause of allah) yang dinotasikan dengan E₂.
Berdasarkan rumusan di atas, maka Fahim khan menawarkan
fungsi konsumsi sebagai berikut:
C* = Aₒ + Aᵤ + Yᵤ (3.14)
Persamaan (3.14) ini hampir sama dengan persamaan untuk
fungsi konsumsi yang dikemukakan Keynes pada persamaan (3.5), yang membedakan
pada esensi atau makna yang terkandung pada persamaan tersebut. Pada persamaan
(3.14) pendapatan yang dimaksud baru untuk golongan kaya (upper classes) atau
kalaupun boleh disebut pendapatan kelompok muzzakki (orang yang membayar zakat)
sehingga intersep ataupun slope/marginal propensity to cunsume ( Aₒ dan Aᵤ)
juga untuk golongan kaya (upper glasses). Persamaan konsumsi model keynes dilabangkan
oleh C (consumption) dengan intersep aₒ dan slope aₗ sedangkan persamaan
konsumsi model Khan dilambangkan oleh C* dengan intersep aₒ + E₂ atau (Aₒ) dan
slope Aᵤ.
Terkait
dengan besaran nilai intersep (autonomous consumption), dengan pendekatan yang
dilakukan khan maka akan mengalami peningkatan sebesar E₂ karena ada
pengeluaran yang di tunjukkan untuk cause of Allah besaran autonomous
consumption (intersep) dalam model Keynes (aₒ) nilainya akan berbeda dengan
model Fahim Khan (Aₒ= aₒ+E₂).
kombinasikan model konsumsi Keynes dengan modal Khan
diperoleh persamaan sebagai berikut: C*=(ao+E2)+a1 (Yu-E2) (3.15)
3.3.2
Pandangan Metwally tentang Fungsi Konsumsi
dan Tabungan
Hipotesis
Pendapadatan Mutlak
Hipotesis ini
menyatakan bahwa konsumsi dalam periode waktu tergantung pada pendapatan siap
konsumsi (disposable income) pada periode tersebut. Metwally memasukkan peranan
zakat terhadap fungsi konsumsi, untuk menyederhanakan masalah dianggap besarnya
zakat ditunjukkan oleh fungsi: Z=αY (3.16)
Dimana: 0< α <1
Selain itu, dimisalkan bY merupakan pendapatan pembayar
zakat dan (1-β)Y adalah pendapatan
penerima zakat, dimana: 0<β<1
Dimisalkan pula δ sebagai hasrat konsumsi marginal
penerima zakat, dimana: 0<b<δ<1
Berdasarkan hal itu maka fungsi dalam ekonomi islam
menjadi:
C=a+b (βY – αY) + δ [(1 – β)Y + αY] (3.17)
·
a
+ b (βY – αY) = fungsi konsumsi
untuk pembayaran zakat
·
δ
[(1 – β)Y] = fungsi
konsumsi untuk penerima zakat
Berdasarkan persamaan (3.17), maka dapat dihitung besaran
APC dan MPC dalam pendekatan ekonomi Islam masing-masing sebagai berikut:
APC = C/Y = a/Y + bβ – αb + δ (1 – β) + αδ (3.18)
MPC = bβ – αb + δ (1 – β) + αδ (3.19)
Berdasarkan pada persamaan (3.18) dan (3.19) sekali lagi
dapat kita nyatakan bersama APC maupun MPC dengan pendekatan ekonomi
konvensional (APC =a/Y + b dan MPC = b) berbeda dengan pendekatan ekonomi
Islam.
Hipotesis
Pendapatan Relatif (The Relative Income Hyphothesis)
Hipotesis pendapatan relatif menyatakan konsumsi sekarang saja
ditentukan pendapatan siap konsumsi pada masa sekarang (Ys) tetapi juga
pendapatan sebelumnya (pendapatan masa puncak atau Yp). Sehingga menurut
hipotesis ini konsumsi rata-rata (APC) dan hasrat konsumsi marginal (MPC)
konstan. Jika pendapatan sekarang lebih kecil dari pendapatan puncak,
makaMPC<APC.
Dengan menggunakan hipotesis ini, maka fungsi konsumsi
menjadi: C= (c+b)Yp+bYs (3.20)
Jika kita mengacu pada model konsumsi yang terdapat pada
persamaan (3.17) dan persamaan (3.2), maka: C = a + b (βY – αY) + δ [(1 – β)Y +
α Y] Y = C + S
Maka diperoleh persamaan untuk saving dalam pendekatan
ekonomi islam sebagai berikut:
S = Y – a – b (βY – αY) – δ [(1 – β)Y + αY] (3.21)
S = Y – a – βY + bαY – δY + δβY – δαY (3.22)
Atau
S = -a + (1 – β + α – δ + δα) Y (3.23)
Dengan mengacu kepada persamaan (3.22), maka diperoleh
persamaan untuk Average Propensity to Save (APS) dan Marginal Propensity to
Save (MPS) sebagai berikut:
APS = S/Y = 1 – a/Y – β + bα – δ + δβ – δα (3.24)
MPS = ▲S/▲Y = 1 – β bα – δ (1 – β) – δα (3.25)
Contoh perhitungan MPC:
MPC = ▲C/▲Y = C1
- Cₒ/Y1 - Yₒ
= Rp
4.500 – Rp 4.000/Rp6.000 – Rp5.000
= Rp
500/Rp 1.000 = 0,5
3.3.3
Pandangan Munawar Iqbal tentang Konsumsi
Iqbal
dengan catatannya ‘Zakat, Moderation, and Aggregate Consumption in an Islamic
Economy’ (1985) mengulas beberapa tulisan dalam wilayah yang tidak menyajikan
teori konsumsi Islam. Iqbal membuat beberapa pemurnian yang dapat diterima
dalam memperkenalkan biaya pengumpulan zakat pada model ini. Menariknya, Iqbal
memulai dengan persamaan yang sama C = ao+cY, ia menyederhakan yang lainnya
untuk penggunaannya. Untuk menjaga keseragaman pengungkapan, maka digunakan
notasi yang telah ada pada pembahasan sebelumnya. Jadi, meletakkan pada tempatnya bagai proporsi dari pendapatan Y untuk para
pembayar zakat, dan mengganti –nya dengan z sebagai tingkat zakat, untuk
konsumsi pada suatu perekonomian Islam
C1 (=C*) sebagai berikut:
C* = a0 + c (μY – zY) + ố [(1 – μ)Y + Zy] (3.26)
Di sini ô, sebagaimana pada Iqbal, adalah marginal
propensity to consume dari para penerima zakat. Jadi, tidak seperti Khan, Iqbal
mengasumsikan bahwa para penerima zakat mampu untuk menabung pendapatan mereka.
hal ini dapat dimengerti karena Iqbal menetapkan ô>c. Selain itu, zakat
dapat dibayar tidak pada Y tetapi hanya pada bagian dari μY-nya. Sehingga
persamaan berikut harus dibaca sebagai:
C* = aₒ + c (μY – zμY) + ô [(1 – μ)Y] (3.27)
Untuk
menunjukkan bahwa konsumsi tidak berlebih-lebihan atau penghindaran israf (1-f)
- dan transfer zakat akan menarik konsumsi dari orang kaya pada arah yang
berlawanan dengan dampak yang tidak pasti - meningkatkan atau menurunkan C*,
Iqal mengemukakan persamaan nya sebagai berikut:
c* - s = (d – c ) σ – cf (μ – σ) (3.28)
Disini,
‘c*’ dan ‘s’ merupakan keseluruhan MPCs masing-masing dari perekonomian Islam
dan sekuler, σ = z (1 - ɛ), dan f adalah bagian yang positif. Iqbal menunjukkan
bahwa baik bagian (d-c) σ dan cf
(μ – σ) dalam persamaan adalah positif dengan kisaran yang umum. Pengukuran
pertama meningkatkan c* yang disebabkan oleh masuknya zakat dan pengukuran
kedua menurut yang disebabkan karena perhatian pada pengeluaran yang tidak
berlebih-lebihan. Jadi, apakah c* akan menjadi lebih besar atau lebih kecil
dari s akan bergantung pada nilai-nilai relatif dari bentuk ini: (d – c) σ <
atau > cf (μ – σ) (3.29)
Kesulitan dengan rumus ini adalah proses turunannya tergantung pada
kesalahan yang sama sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, yaitu menggunakan
zY dari pada zμY. Memerhatikan koreksi tersebut, persamaan (3.28) berkurang
menjadi:
(d – c) σ < atau > cf (1 – σ) (3.30)
Sebagai
proporsi pendapatan untuk orang kaya tidak lagi memainkan peran dalam
menentukan besaran atau arah dari selisih (c*-s). Ini memainkan peran dalam
menetapkan posisi garis pada permukaan yang datar hanya setelah selisih
diketahui. Hal ini jelas dari koreksi persamaan berikut pada Iqbal:
APCₗ - APCₛ = μ [(d – c) σ – cf (1 – σ) (3.31)
Untuk kejelasan dapat dengan segera menggunakan ‘f’
sebagai suatu bagian positif untuk israf. Memasukkan ‘f’ pada persamaan dan
untuk menjelaskannya didapat versi modifikasi persamaan sebelumnya sebagi
berikut: c* = cμf (1 – z) + 1 – μ (1 - z) (3.32)
Untuk
menyederhanakan, kita menjadikan c* = 1 – Ā (1 – cf), dimana Ā = μ(1 – z)
adalah konstan. Jelasnya, jika z pengeluaran di jalan Allah meningkat, Ā akan
turun dan c* meningkat. Di sisi lain, (dc*/df)> 0, seperti peningkatan pada
moderation atau penurunan pada f akan cendurung untuk menurunkan keselurahan
marginal propensity to consume dalam system Islam.
3.4
Fungsi Investasi dengan Pendekatan Ekonomi Konvensional
Invenstasi merupakan pengeluaran perusahaan untuk membeli
barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Ada 3 bentuk pengeluaran invenstasi:
a)
Investasi
tetap bisnis (business fixed investment)
b)
Investasi residensial (residential investment)
c)
Investasi
persediaan (inventory investment)
Dalam membuat fungsi persamaan untuk investasi dengan
pendekatan sederhana dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1.
Dengan
mengasumsikan bahwa investasi bersifat autonomous atau tidak dipengaruhi oleh
veriabel lain. Sehingga persamaan untuk investasi sebagai berikut: I = Ī (3.33)
2.
Selain
investasi bersifat autonomous, maka terdapat pula investasi yang dipengaruhi
oleh variable suku bunga atau interest (i) sehingga persamaan investasi sebagai
berikut:
I = Ī – di (3.34)
Persamaan (3.34) memberikan gambaran bahwa teradapat
hubungan negatif antara suku bunga dengan investasi, jika tingkat suku bunga
naik maka investasi akan turun demikian sebaliknya (vice versa).
Keseimbangan awal terjadi pada kondisi (C+Iₗ) dengan
tingkat output sebesar Yₗ, dan tingkat suku bunga (iₗ). Kemudian jika terjadi
kenaikan tingkat suku bunga dari iₗ ke i₂ maka berakibat pada naiknya tingkat
investasi dari (C+Iₗ) ke (C+I₂) yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat
pendapatan dari Yₗ ke Y₂.
Pengaruh masuknya variable investasi terhadap multiplier adalah Karena asumsi yang digunakan bahwa investasi
bersifat autonomous ataupun
dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, maka besaran multiplier tidak mengalami perubahan. Dengan mengacu pada persamaan
konsumsi (3.5) dan persamaan investasi (3.34), maka proses perhitungan multiplier dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Y = a + bY + Ī - di (3.35)
Y = 1/(1-b) (a + Ī – di) (3.36)
Berdasarkan persamaan (3.36) maka dapat dinyatakan bahwa multiplier perekonomian masih sebesar
[1/(1-b)].
Sebagai ilustrasi sederhana dapat dijelaskan dengan contoh
perhitungan berikut ini: misalkan diketahui persamaan konsumsi (C=150+0,7 Y)
sedangkan investasi bersifat autonomous (Iₒ = 20). Berdasarkan informasi
tersebut berapa besar keseimbangan pendapatan nasional, berapa besar konsumsi?
Jika kemudian investasi ditingkatkan menjadi (Iₗ+30) berapa besar kenaikan
pendapatan nasional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dilakukan proses
perhitungan sebagaiberikut:
Y = 150 + 0,7Y + 20
Y = 170 + 0,7Y
Y = [(1/0,3) x 170]
Y = 566,67
Sedangkan untuk besaran konsumsi dapat dihitung sebagai
berikut:
C = 150 + 0,7 (566,67)
C = 546,67
Jika investasi mengalami kenaikan sebesar 10 (▲I=10),
maka besarnya kenaikan pendapatan:
▲Y = [(1/0,3) x 10]
▲Y = 33,33
Berarti besarnya nilai pendapatan nasional setelah adanya
kenaikan investasi sebesar 10, yaitu 566,67 + 33,33 = 600
3.5
Fungsi Investasi dengan Pendekatan Ekonomi Islam
Fungsi
investasi dangan pendekatan ekonomi islam tentu berbeda dengan fungsi investasi
dengan pendekatan ekonomi konvensional. Perbedaannya karena fungsi investasi
dalam ekonomi konvesional dipengaruhi tingkat suku bangs, hal ini tentunya
tidak berlaku dalam pendekatan ekonomi islam.
Menurut
metwally (1995), investasi dinegara-negara penganut ekonomi islam dipengaruhi
oleh 3 faktor (1) ada sanksi terhadap
pemegang asset yang kurang atau tidak produktif (hoarding idle asset); (2)
dilarang melakuakn berbagai bentuk spekulasi dan segala macam judi; dan (3)
tingakat bunga untuk berbagai pinjaman
sama dengan nol. Sehingga seorang muslim boleh memilih tiga alternative atas
dananya, yaitu: (a) memegang kekayaan
nya dalam bentuk uang kas (idle cash);
(b) memegang tabungannya dalam bentuk asset tanpa berproduksi seperti deposito,
real estate, permata; atau (c)
menginvestasikan tabungannya.
Menurut Metwally, fungsi investasi dalam ekonomiIslam
ialah : I = f (r, Zᴀ,Zₙ μ) (3.37)
dan r = f (SI/SF) (3.38)
Karna nilai Zᴀ dan Zₙ (tingkat zakat) besarnya tetap,
maka persamaan (3.37) dapat disederhanakan menjadi: I = f (r, μ) (3.39)
Dengan persamaan (3.39)dapat kita nyatakan bahwa factor
yang mempengaruhi besar kecilnya invetasi (1) tingkat keuntungan yang
diharapkan dan (2) pengeluaran lain-lain zakat atas asset yang tidak atau
kurang produktif.
Khan dalam sebuah makahlahnya yang berjudul A simple model of income determination,
growth and economic development in the perspective of an interest free economy
(2004) menyatakan bahwa permintaan investasi (investment demand) ditentukan oleh tingkat keuntungan yang diharapkan
tergantung pada:
·
Total
profit yang diharapkan dari kegiatan firm
(entrepreneurial).
·
Share in profit yang di klaim oleh pemilik dana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar